PERANG
BARATAYUDA
Bagian 1
KRESNO
GUGAH
Perang Baratayudha, atau lengkap nya Baratayuda Jayabinangun,
perang antar darah Barata,
merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa dalam
pewayangan, selain Perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas pemberontakan Prabu Trembuku
dari Pringgandani
dan Perang Gojalisuta, perang saudara anak
bapak, antara Prabu Bomantara
alias Prabu Sitija
dengan Prabu Kresna
dalam membela anaknya yang lainnya Samba
Wisnubrata, serta perang Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning
menjadi Sraya,
atas serangan Raja Hima
Imantaka, Prabu
Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona
kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba. Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit
yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa
yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap. Semua kejadian adalah
bermula dari konflik keluarga keturunan langsung dari Resi Wiyasa Kresna Dwipayana.
Tiga orang puteranya:
Drestarastra
sang cacat netra sebagai anak sulung, Pandu
Dewanata anak penengah dan Arya Yamawidura sebagai anak bungsu. Ketika
Prabu Wiyasa
hendak menyerahkan tahta lengser keprabon Astina dan
hendak menyucikan diri ke Sapta Arga, dipanggilnya ketiga puteranya. Dan dengan ikhlas disaksikan para saudara dekat
termasuk Resi Bhisma
atau Sang Jahnawisuta Dewabrata,
yang secara garis adalah sebenarnya pewaris trah Barata, Drestarastra menyerahkan tahta
haknya hingga ke anak cucu turunnya kepada adik
penengah, Pandu Dewanata.
Sayang, atas kelicikan dan gosok kerti sampeka sang maha julig adik ipar Drestarastra,
yaitu Arya Gendara
Sangkuni, seratus anak Drestarastra, dikenal sebagai
trah Kurawa,
menjadi manusia-manusia bermoral buruk yang kurang tata krama. Puntadewa, anak
sulung trah Pandawa,
anak Pandu yang telah mangkat,
seorang yang tidak bisa berkata tidak, masuk dalam perangkap pokal akal-akalan Sengkuni dengan mengadakan permainan dadu. Trah Pandawa yang
telah mempunyai negara sendiri, hasil dari membuka hutan Wisaamerta, dan menjadikannya sebuah istana indah bernama Indraparahasta
atau Kerajaan Amarta, terpaksa kalah dalam
olah permainan curang Sengkuni.
Perjanjian telah disepakati, pihak
kalah akan dibuang ke Hutan Kamyaka
selama 12 tahun dan melakukan penyamaran disuatu tempat
selama setahun terakhir masa pembuangan. Bila penyamaran diketahui pihak Astina, maka
pembuangan harus diulang selama waktu yang sama. Tigabelas
tahun hampir lewat. Ketika Astina kedatangan
seorang raja seberang bernama Prabu Susarman, raja dari Negara Trikarta.
Bujuk rayu Susarman
menghasilkan serbuan bermotif menggelar jajahan ke Negara Wirata,
dan berakhir gagal.
xcpot.blogspot.com
Dalam sidang agung Negara Astina,
Sang Duryudana
sangat jengkel ketika prajurit Astina kembali
dengan tangan hampa ketika pulang dari Wirata dalam misi menaklukkan negara itu. Negara yang
tadinya diperkirakan telah lemah karena ditinggalkan tiga orang agul-agul senapati,
Sang Kencakarupa,
Rupakenca
dan Rajamala
yang diberitakan tewas di tangan seorang jagal,
ternyata berakhir dengan kegagalan telak. Malah Prabu Susarman, bala bantuan dari Negara Trikarta
yang semula mengipasi agar Sang Duryudana mau menaklukkan Wirata, tewas mengenaskan. Kekuatan Wirata menurut
perhitungan semula hanya tinggal dua dari tiga putera Baginda Matswapati, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Sudah sangat berkurang kekuatan negara itu,
karena Resi Seta sang putra sulung
yang sakti mandraguna, lebih senang dengan olah kapanditan, dan saat itu sedang
bertapa tidur di Pertapan
Suhini
atau Sukarini.
Upaya Sang Duryudana
untuk sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, menaklukkan Wirata sambil
mencari keterangan tentang adanya trah Pandawa dalam masa penyamaran, sekalian dilakukan. Bila
ditemukan disana, maka mereka harus mengulang lagi masa pembuangan nya selama
genap tigabelas tahun bakal terlaksana. Padahal masa pembuangan dua belas tahun
dan masa penyamaran satu tahun, sudah hampir berakhir ketika itu. Selesai lah
masa perjanjian itu, ketika perang gagal dalam menggelar jajahan berakhir
Prabu Duryudana : “Hmm . . . . Paman Harya
Sengkuni, kekalahan ini merupakan kegagalan beruntun.
Pertama. . . . . . , pasti. .,
negara Wirata gagal menjadi jajahan kita. Kedua,
berakhirnya peperangan Astina dan Wirata,
menandai habis nya waktu perjanjian pembuangan para Pandawa”.
Prabu Duryudana
akhirnya bersabda setelah beberapa waktu diam dengan pergolakan pikiran
penuh sesal atas misi yang berakhir dengan kekalahan telak yang memalukan.
Prabu Duryudana : “Dengan berakhirnya waktu
perjanjian ini pasti Pandawa akan segera menagih
haknya untuk kita mengembalikan Astina dan Indraparahasta yang dulu dipertaruhkan dalam permainan
dadu”. Kembali sang Duryudana
menyambung pembicaraan nya dengan masygul.
Prabu Salya, raja Mandaraka, mertua dari Prabu Duryudana
dan Adipati Karna yang
ikut hadir dalam sidang menyela.
Prabu Salya : “
Benar angger Prabu, sabda raja
adalah perkataan yang tidak dapat di asak, tidak usah lah kiranya angger Prabu kukuh dalam mempertahankan lagi hak
yang seharusnya harus dilepaskan, karena perjanjian telah berakhir. Bila nanti
Angger bersedia, Negara Mandaraka
akan saya pasrahkan untuk angger
Prabu. Saya sudah tua ngger, saatnya bagi ku
untuk menjauhi keramaian dan aku siap menyepi, kembali ke Argabelah”.
Sejenak suasana sidang sunyi.
Patih Sengkuni : “Anak
Prabu” Sang maha julig Sengkuni
memecahkan kesunyian.
Patih Sengkuni : ” Negara Mandaraka
tidaklah sebesar Astina, tidak sebanding, apalagi
dibandingkan luas Astina yang digabungkan dengan Amarta. Mau di kemanakan anak-anak ku Kurawa
yang seratus itu bila hanya negara seluas Mandaraka
yang diharapkan menampung sejumlah keponakan ku semua .
. ?”.
Demikian Sang Patih Sengkuni
memberikan alasan, ditambahkan lagi segala pertimbangan bermacam macam
yang inti nya tidak menyetujui jika Negara
Astina
beserta seluruh jajahan nya diserahkan ke trah Pandawa.
Demikian juga dengan Adipati Karna,
seorang anak angkat kusir Radeya yang dirangkul dan dijadikan tetunggul
senapati dan berpikiran menurut sudut pandang keprajuritan menambahkan.
Adipati Karna : ” Yayi Prabu, apakah menurut yayi,
saya sebagai seorang yang sudah dibuat kenyang dengan segala kebaikan,
kemurahan hati dan keluhuran yang tiada terhingga, merasa masih kurang
dalam memberikan tetameng terhadap keluhuran derajat
Yayi Prabu? Sehingga dengan mudahnya
menyerahkan kembali negara tanpa harus mengandalkan peperangan. Jangan
berpikir sebagaimana berpikirnya orang yang tua yang sudah rapuh,
sehingga menganggap penyerahan negara adalah hal yang bermartabat?
Tidak. Keutuhan negara harus dibela dengan pecahnya
dada dan mengalir nya darah...!”.
Prabu Salya merasa tidak senang dengan
perkataan Adipati Karna, yang
dengan tanpa sengaja mengusik rasa sang Prabu
Salya. Dalam hatinya perkataan itu ditujukan
kepada dirinya. Kemarahan Sang Narasoma tua menggelegak. Tudingan kemarahan jatuh kepada Adipati Karna Suryatmaja sontak mengalir bagaikan banjir bandang.
Prabu Salya :
“ Heh Karna.!,Dari
tiga orang mantu ku, kamu lah satu-satunya mantu yang tidak pernah memberi rasa
puas terhadap mertua, celaka benar nasib anak ku Surtikanti
dapat suami kamu, suami yang seharusnya dahulu bukanlah kamu, tapi Arjuna. Atas kemurahan Arjuna-lah
kamu menjadi mantu ku. Prabu Baladewa, raja Mandura, menantu ku yang gagah perkasa, tetapi di depan ku menyembah
kaki ku. Prabu Duryudana, raja kaya raya. Di depan ku
takluk juga menyembah. Tetapi kamu itu siapa? Adipati
kecil, tetapi tingkah laku mu selalu tidak berkenan dalam hati ku. Sudah jarang
datang ke Mandaraka, juga tak sekalipun kamu datang
dengan membawa kebahagiaan, kalaupun datang pasti membawa masalah . . . . . .”.
Panjang lebar Prabu Salya
memarahi sang mantu di persidangan , sekalipun
beberapa kali dicoba kemarahan nya dipenggal oleh menantu yang lain, Prabu Duryudana.
Merasa sudah lega dengan memuntahkan segala kemarahan yang melebar kesana
kemari kepada menantu nya, Prabu Salya meminta diri:
Prabu Salya : “
Angger Prabu, pikirkan lah kembali
dengan bening nya hati. Tetapi apapun yang terjadi nanti, bila Angger masih berkenan dengan tenaga orang tua ini,
pastilah aku akan datang kembali ke Astina” “Aku
sudah kangen dengan Ibu mu Setyawati. Ketika sudah
tua semacam aku ini, pergi sebentar saja, rasa ku gampang sekali
kepengin kembali ketemu dengan ibu mu”. Prabu Salya
berkilah.
Selepas kembalinya Sang Prabu Salya
ke Mandaraka,
sidang menetapkan, bagaimanapun Astina dan Indraparahasta dan seluruh jajahan nya tetap akan dipertahankan. Sang Pendita Durna-pun dengan berat hati setuju
dengan keputusan ini. Semua menganggap, para sesepuh Astina yang maha sakti seperti
Sang Bhisma Jahnawisuta
dari Talkanda,
tidak akan tertandingi bila sudah berkenan maju dalam
peperangan nanti. Usaha nya tinggal selangkah lagi, karena berdasarkan wangsit, peperangan besar Baratayuda bakal dimenangkan,
bila sudah dapat menggaet Prabu Kresna yang sedang bertapa tidur di Balekambang. Usaha ini pun sudah
yakin dapat dicapai bila Prabu Baladewa yang merupakan kakak Sri Kresna dapat dirangkul untuk
membangunkan adik nya, sekalian mengajak nya bergabung di Astina. Apa
yang diperhitungkan oleh Sang Duryudana perihal akan datang nya utusan dari para Pandawa memang
benar adanya. Di luar sudah menunggu ibu dari para Pandawa, Dewi Prita, Kuntitalibrata dengan ditemani
sang ipar, Adipati Yamawidura
dari Ksatrian Panggombakan.
Setelah dipersilakan duduk, Sang Prita dengan santun nya mengutarakan maksud kedatangan nya.
Dewi Prita :
“Anak ku ngger Duryudana,
seperti yang sudah tersiar luas di jagat ini, bahwa sudah pundhat
masa pengasingan anak-anak ku Pandawa. Itu sudah masa
lalu. Sekarang angger, sebagai utusan dari kelima anak
ku, aku meminta ketegasan, kapan waktunya peristiwa diperbolehkan kembali Pandawa ke Astina beserta dipulihkan
nya kedaulatan atas Negara Amarta bakal dilaksanakan. . . . ?”.
Sang Dewi juga mengatakan bahwa kedatangan
nya disertai Arya Yamawidura,
adalah merupakan saksi atas ucapan kesediaan nya mewujudkan janji yang telah
diucapkan ketika permainan dadu hendak dilaksanakan dulu. Prabu Duryudana terdiam. Dalam hatinya
bergolak pikiran bagaimana cara mengatakan tidak
kepada utusan itu, yang tak lain adalah orang yang dihormati nya. Bahkan oleh ayahanda
nya sendiri Adipati Drestarastra.
Tetapi oleh sang pembisik disekeliling Sang Prabu yang selalu menggosok nya dan
nafsu Sang Prabu terhadap kekuasaan telah sedemikian besar, kata Sang Prabu
dengan tanpa mengindahkan tata krama dan seribu alasan, malah mengusir Dewi Kunti.
Prabu Duryudana : “ Bibi
sudahlah, bibi pulang saja kemana saja bibi mau, sekarang saya belum
terpikir kapan akan mengembalikan semua yang telah dijanjikan dulu”.
Kunti hanya bisa meratap kepada adik ipar nya, sang Yamawidura. Harapan besar yang telah diusung nya dari Wirata atas kembalinya negara Astina
kepada anak-anaknya musnah sudah. Segera diboyong nya kembali Dewi Prita yang pingsan keberatan dengan beban batin, untuk sementara
bermukim di Ksatrian Panggombakan.
Segera Sang Yamawidura mengutus seseorang untuk
mengabarkan apa yang terjadi terhadap Dewi Prita kepada anak anaknya di Wirata.
xcpot.blogspot.com
Prabu Drupada, raja Pancalaradya, yang datang
kemudian atas inisiatif sendiri, sebagai duta juga dipandang remeh, dihina nya Sucitra tua itu
yang hanya bisa menahan marah, dan keluar tanpa pamit dari sidang agung. Keriuhan
dalam sidang sampai juga di telinga Adipati Drestarastra, Adipati cacat
netra ini segera minta dituntun sang istri, Dewi Gendari, menuju sidang agung yang
sudah ditinggalkan oleh Dewi Kunti dan Prabu Drupada dengan perasaan masygul.
Adipati Drestarastra : “Heh
anak ku Duryudana, aku dengar dari dalam tadi ada
pertengkaran. Apa yang terjadi ngger, baiknya jujur
saja katakan kepada bapak mu ini??”.
Dengan plintat-plintut Duryudana
menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terperangah sang
Drestarastra.
Segera dia minta dipertemukan dengan Prabu
Drupada, yang dengan kesaktian nya pasti mampu
menaklukkan anaknya, untuk dimintai seribu maaf atas kurangnya tata susila yang
dilakukan nya tadi.
xcpot.blogspot.com
Balekambang.
Sebenarnya Sri Kresna
sedang meraga sukma. Secara kewadagan kelihatan Sri Kresna
tertidur dalam bertapa, namun sebenarnya sukma sang Kesawa sedang pergi menghadap
haribaan Sang Hyang Guruloka
untuk mencari keterangan mengenai isi Kitab
Jitapsara. Kitab skenario pelaksanaan Perang Baratayuda
yang berdasarkan jangka kadewatan sudah saatnya
dibuat oleh Hyang Jagatnata
dan ditulis oleh Batara Penyarikan, sekretaris Kahyangan.
Maka ketika Para Kurawa
datang hendak membangunkan dan mengajaknya bergabung,
tidak satupun berhasil membangunkan. Mereka satu persatu melakukan usaha untuk mencoba
dengan caranya sendiri sendiri.
Prabu Karna
datang membangunkan dengan meraba leher sang Sri Kresna, menandakan leher Adipati Karna akan terpenggal dan tewas dalam Baratayuda. Terkena pagar
kesaktian diri Sri Kresna,
Adipati Karna
seketika terbanting tak sadarkan diri. Demikian juga dengan Arya Dursasana
yang datang membangunkan dengan menggerayangi dan menggoyang seluruh tubuh dan
persendian Sri Kresna.
Kejadian ini sebagai pertanda akan terpotong-potong
nya jasad Arya Dursasana
dalam Baratayuda.
Walat atau pagar diri Sri Kresna juga berlaku ketika Resi Durna
mencoba membangunkan dengan memegang leher Sang Tapa. Prabu Duryudana akhirnya datang sendiri
dengan memegang dan mengelus paha Sri Kresna, ini sebagai pertanda bahwa kelak pada
peperangan Baratayudha,
Prabu Duryudana
akan tewas dengan tertebas Gada Rujakpolo, gada Raden
Werkudara, pada paha kiri nya. Karena tidak
kunjung terbangun, makin lama semakin keras menggoyang paha Sri Kresna. Terkena
walat sang Kresna seketika Prabu
Duryudana juga sama
dengan para bawahan nya, terbanting tidak sadarkan diri. Geger para prajurit
yang lain, seketika itu tidak ada satupun Kurawa yang berani mencoba
membangunkan. Ketika suasana sudah bisa diatasi dan tenang kembali, kesepakatan
rembuk terjadi, mereka mengundurkan diri terlebih dulu sambil menunggu datang
nya Prabu Baladewa
sebagai usaha mereka yang terakhir.
xcpot.blogspot.com
Para Pandawa datang juga akhirnya.
Waspada Prabu Yudistira,
bahwa Sri Kresna
sejati nya tidak sedang bertapa tidur, melainkan sedang meraga sukma, ditinggalkan
nya wadag. Sementara sukma sang Narayana pergi entah kemana.
Prabu Yudistira : “Adik ku Werkudara, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana bertemu
sang Guru Sejati mu, Dewa Ruci, tatkala kamu
menceburkan dirimu ke samudera Minangkalbu dahulu.
Sekarang ketemukan kakang Kresna.
Ajaklah kembali ke raga nya dan persilakan beliau
untuk pulang bersama kita ke Wirata, untuk menjadikan
nya jaya trah kita Pandawa dalam perang Baratayudha bila benar akan terjadi nanti adimas”.
Raden Werkudara : “Apa guna nya Si Arjuna
yang lebih dari sakti, yang juga merupakan tukang tapa, sesama titis Wisnu dan
lebih dekat dengan Kresna, kenapa dia tidak ada usaha
yang mestinya tidak lagi harus diberi perintah??!”. Tukas
sang Werkudara.
Sang Arjuna yang dari tadi diam
disindir kakak nya Bima,
sejati nya sedang mengheningkan cipta, meraga sukma mencari dimana gerangan
sukma kakak ipar nya, Sukma Wicara, berada.
Arjuna
adalah sesama titisan Wisnu yang
membelah diri bagaikan api dan panasnya. Ketika melihat
raga Sri Kresna
yang sedang tergolek, tak ada keraguan bagi nya bahwa Sri Kresna tidak bersukma. Ikut lah sang Arjuna meraga
sukma dengan nama Sukma Langgeng meninggalkan raga dan
saudara-saudara nya. Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa
atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang
bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda Perang Baratayuda. Batara Panyarikan dengan pena di tangan dan tinta di hadapan nya menulis skenario apa
yang dikatakan oleh Sang Jagad nata.
Telah ditulis nya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario:
Raden Utara dan Salya bertanding , Utara terbunuh oleh Prabu Salya.
Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh
Resi Durna.
Raden Rukmarata terbunuh oleh
panah Resi Seta. Resi Bhisma perang tanding dengan
Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya.
Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa
tanding dengan Antareja
dan hendak ditulis nya ke dalam daftar skenario, tumpah lah tinta di hadapan Batara Panyarikan
ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma
Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda
tergelar. Gagal lah kalimat itu dituliskan. Marah lah Sang Girinata, ditangkap nya kumbang
itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara.
Batara Guru :
“Heh Kaki Kresna. . ! kenapa kamu sebagai titah ku
menggagalkan usaha ku dalam menulis naskah ini?”. Tanya Batara Guru.
Sri Kresna :
“Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang
hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah
yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda
itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja”.
Jawab Sukma Wicara.
Batara Guru : “Baik, adakah
sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi tetukar
terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu
memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat
terhindar?”. Sahut Batara Guru.
Sri Kresna :
“Pukulun, saya rela menukar nya dengan
pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila
dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun”. Demikian
Sri Kresna
menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan pusaka yang merupakan
warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba.
Sri Kresna :
“Dengan penyerahan ini Pukulun, maka
dirasa akan fair-lah perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan
kawan yang telah terbunuh”. Tambah Sri
Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata.
Sri Kresna :
“Sedangkan bagaimana cara nya agar kakak
hamba agar tidak ikut dalam perang Baratayuda kelak
serahkan kepada hamba”. Kresna meneruskan.
Demikianlah, setelah barter
terjadi dan Sukma Wicara telah
diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulang lah Sang
Sukma kembali ke menuju raga nya. Diperjalanan ketemu lah Sang Sukma Wicara dengan Sukma Langgeng. Sukma Langgeng memaksa memberikan kitab skenario kepada nya, tetapi
dijelaskan bahwa ini adalah rahasia para dewa dan ia
pun tidak diberikan kitab nya hanya diberitahu jalan cerita nya. Sukma Langgeng tidak percaya dengan
keterangan itu, dan terjadi perkelahian diantara keduanya. Geger lah Jonggring Salaka oleh
tanding seimbang dan tidak akan berkesudahan. Diutus
nya Batara Naradda
oleh Hyang Girinata
untuk memisahkan keduanya.
Batara Naradda : “ Heh
cucu-cucu ku. . .!!, Berhentilah . . . !!, Tidak ada guna nya kalian berkelahi,
segera masuk lah kembali ke raga masing-masing. Tugas suci sudah menunggu.
Sukma Langgeng percayakan kepada Sukma Wicara yang kelak menjadi pengatur laku
dalam peperangan besar nanti !!”.
Batara Naradda datang dengan memberikan
penjelasan panjang lebar kepada Sukma
Langgeng atas apa yang terjadi ketika Sukma Wicara menghadap di Kahyangan Jonggring Salaka. Keduanya segera mematuhi titah sang Naradda, turun
kembali ke Arcapada
masuk ke raga masing-masing. Gembira lah para Pandawa setelah menerima
kesanggupan Sri Kresna
untuk diboyong ke Wirata.
Belum sempat mereka semua beranjak dari Balekambang, ketika itu juga datang lah Prabu Baladewa menghadang langkah para Pandawa dan Sri Kresna,
sambil berkata:
Prabu Baladewa : “Syukurlah yayi
Prabu sudah bangun dari tapa mu…! Sekarang marilah adik ku, pergi bersama kakak
mu ini ke Astina, begitu kan kehendak yayi Prabu Duryudana?”. Sang Baladewa menegaskan juga ke Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana : “Benar kakanda…! Marilah datang
berkumpul ke Astina. Disana kakanda bakal saya beri kemukten, asalkan kanda sudi kami
boyong”. Sang Duryudana
juga merayu Sri Kresna.
Sri Kresna yang selalu waspada, dengan
tidak ketara menampik dan berusaha untuk tidak melukai
hati Sang Baladewa,
menanyakan kepada Prabu Duryudana.
Sri Kresna : “Yayi, tujuan akhir yayi memboyong
kakak mu ini adalah memenangkan Baratayudha, bukankah
begitu?”.
Prabu Duryudana : “Benar kakang Kresna”. Dengan nada yakin Duryudana menyahut.
Sri Kresna :
“Kalau begitu bukankah lebih baik bila kakak mu yang satu ini
ditukar seribu raja beserta para nayaka nya sekalian
sehingga kekuatan negara Astina niscaya akan lebih
kuat sentosa?!”. Kresna berusaha memberi
alternatif, sambil berusaha bagaimana agar Duryudana mau dirayu.
Belum sempat sang Baladewa
mencegah jawaban sang Duryudana
yang sudah diduga nya, dengan cepat Prabu
Duryudana menyanggupi menukar satu orang Sri Kresna
dengan seribu raja lengkap dengan hulubalang nya.
Dalam pikiran nya apalah kekuatan satu orang dibandingkan dengan kekuatan yang
hendak dibarter nya.
Prabu Baladewa : “Heh yayi
Prabu Duryudana, semula apa yang direncanakan dari Astina datang ke Balekambang?
Apakah yayi Prabu lupa akan wangsit dewata bahwa siapa yang bisa mendatangkan Kresna bakal unggul dalam perang itu? Bukankan
aku didatangkan kemari hendak diutus melakukan itu? Aduh yayi
Prabu, alangkah malangnya Kurawa memiliki raja
seperti yayi ini . . . . . . . . !!”.
Panjang lebar sang Baladewa
memarahi Prabu Duryudana.
Lalu Sri Kresna
menyela.
Sri Kresna : “ Sudahlah kanda, sabda
raja adalah perkataan suci, harus konsisten, sekali dia berkata, tak layak lah dia
mencabut kembali kalimat nya”.
Segera Sang Kresna menepuk batang beringin
tempat bernaung dalam tapa nya, seketika daun-daun yang berguguran berubah
menjadi seribu raja beserta para punggawa nya.
Sri Kresna :
“Silakan yayi Prabu Duryudana , pulang lah ke Astina beserta para raja yang kelak menjadi benteng dalam
perang yang pasti akan terjadi nanti”. Demikian Kresna bermaksud menyudahi
persoalan.
Raden Werkudara : “Mari Kakang
Prabu, kita segera kembali ke Wirata”. Werkudara segera
mengajak Sri Kresna
pulang.
”persoalan
kita sudah selesai”. Tambah Bima.
Prabu Baladewa : “Belum !!”. Bentak Prabu
Baladewa.
Prabu Werkudara : “Apa mau mu?”. Sahut Bima kembali.
Prabu Baladewa : “ Kresna harus ikut aku!!”. Baladewa kembali
membentak tentu saja Bima
tidak berkenan, terjadi lah perkelahian diantara keduanya.
Kekuatan kedua ksatria ini memang
hampir seimbang. Baladewa
menggunakan kecepatan dan kekuatan untuk mencoba mengalahkan Bima, namun Werkudara juga
memiliki kekuatan yang lebih tangguh dalam melawan Prabu Baladewa. Merasa keteteran, Baladewa menggunakan
senjata Nenggala.
Waspada sang Kresna,
didekati nya Werkudara
dan di bisiki untuk memancing agar senjata Nenggala
menancap ke tanah. Demikianlah, atas pancingan itu senjata Nenggala yang hendak ditujukan
ke Werkudara
dan dihindari akhirnya menembus tanah dan terjepit hingga tidak bisa dicabut
kembali. Sri Kresna
mendekati Baladewa
yang berusaha keras mencabut pusaka nya dari jepitan, disapa nya Prabu Baladewa.
Sri Kresna :
“ Kakang
Prabu, paduka tidak dapat melepaskan senjata dari dalam tanah karena
sebenarnya kakanda berdosa. Tanah yang tidak bersalah paduka kenai senjata sakti. Akhirnya kejadian inilah
yang menyebabkan senjata kanda tidak dapat
dicabut kembali. Kanda pun nanti akan mendapat kemalangan terjepit bumi dan
tidak dapat keluar dari malapetaka itu”.
Prabu Baladewa : “Aduh adik ku, sial benar aku.
Bagaimana cara agar aku dapat keluar dari laknat bumi ini yayi??”. Ratap Prabu Baladewa.
Sri Kresna :
“Kanda, paduka harus melakukan penebusan berupa memberikan dana bagi siapapun yang meminta”.
xcpot.blogspot.com
Tersebut lah seorang pengemis,
hendak meminta sesuatu kepada Prabu Baladewa yang mendengar kabar Sang Prabu sedang berkeliling
membagikan dana. Ia dengan tidak sungkan meminta istri
sang prabu, Dewi
Erawati, untuk dijadikan sebagai istri. Tidak
ingat akan kesanggupan nya, marah lah Prabu Baladewa
dan dikeluarkan senjata Nenggala
dan ditujukan kepada si pengemis. Pengemis itu menghindar dan terserempet senjata
itu, dan berubah ujud menjadi Arjuna. Malang kembali menimpa Prabu Baladewa, senjata Nenggala kembali
mengenai bumi dan menyebabkan tanah itu berlubang.
Bersambung…
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon